Komunikasi sains di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Dalam berkomunikasi sains, ada yang terlalu ilmiah dan kaku sehingga sulit dicerna, ada juga yang terlalu disederhanakan hingga menimbulkan miskonsepsi di masyarakat.

Karena itu, dibutuhkan peran komunikator sains— yang mampu menjembatani antara dunia ilmiah dan masyarakat umum.
Tugas utama dari komunikator sains ini adalah meramu informasi sains yang kompleks menjadi informasi yang akurat sekaligus mudah dipahami oleh siapa pun.
Disclamer:
Tulisan ini merupakan rangkuman dari online course Science Content Creation Lab dari The Conversation Indonesia. Bagian ini adalah sesi pertama tentang Sains itu untuk siapa, sih? yang disampaikan oleh Abigail Limuria
Bagaimana cara membuat konten sains
Banyak orang mengira menyampaikan informasi sains itu cukup dengan memberikan informasi atau data. Lalu, orang akan paham dan menerima.

Padahal tidak.
Belum tentu seseorang yang belum tahu akan langsung tertarik atau bahkan peduli dengan informasi yang kita berikan. Bisa jadi justru makin tidak peduli.

Ini bisa terjadi karena mereka merasa tidak punya kapasitas atau latar belakang di bidang tersebut—terlebih di era AI, di mana orang cenderung ingin serba instan dan enggan menelaah informasi secara mendalam.
Faktanya, permasalahan ini timbul bukan kurang informasi. Justru sebaliknya: masyarakat kebanjiran informasi. Tapi ada dua hal utama yang membuat penyampaian sains tetap tidak efektif:
- Tidak adanya rasa kepedulian terhadap sains dan manfaatnya.
- Rendahnya kemampuan untuk memilah dan mengolah informasi, bahkan setelah mengetahuinya.
Menjadi komunikator sains
Melihat tantangan ini, jelas bahwa kita butuh lebih banyak komunikator sains yang mampu menjalankan dua peran utama:

- Menyederhanakan konsep sains agar mudah dipahami.
- Menyajikan informasi dengan relevansi terhadap kehidupan sehari-hari agar audiens merasa informasi itu penting.
Konten sains yang efektif harus menggabungkan dua hal ini.
Menyederhanakan informasi
Berikut panduan singkat yang bisa membantu kita saat membuat konten sains:

Contoh penyederhaannya.
❌ Dibanding kita menyampaikan sepeti ini:
Climate change disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana yang menahan radiasi inframerah di atmonsfer bumi.
✅ Akan lebih baik jika begini:
Bumi makin panas karena gas-gas dari mobil, pabrik, dan peternakan bikin ‘selimut’ di atmonsfer. Akhirnya panas matahari ngga bisa keluar, jadi semua makin kepanasan.
Ingat tujuannya jelas: buat konten sesederhana mungkin, tapi tetap akurat. Jangan buat orang merasa harus jadi ilmuwan dulu baru bisa paham.

Membuat informasi menjadi relevan
Setelah menyederhanakan informasi, langkah selanjutnya adalah membuatnya menarik dan relevan bagi audiens.
Mau sepenting dan sesederhana apapun konten yang sudah kita buat, jika tidak mendapatkan atensi dari audience ya sama saja percuma.
Faktanya, di media sosial seperti Instagram dan TikTok, audiens hanya butuh 2–3 detik untuk memutuskan apakah mereka akan lanjut menonton atau tidak. Maka, hook di awal video sangat penting.
Tips Kak Abigail, agar konten yang kita buat menjadi ‘rame’ dan disukai audience.
- Sajikan konten yang lucu dan menghibur
- Buat konten yang relatable
- Konten bersifat edukatif (ada informasi baru)
Paling tidak, konten yang kita buat memuat minimal 2 dari 3 unsur di atas. Tapi ingat, elemen tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan audiens kita.
Cation! (Catatan + Caution)

Buatlah konten yang tidak hanya membuat orang paham, tapi juga mau bergerak dan belajar lebih lanjut.
Bangun narasi yang positif dan penuh harapan. Ketika audiens merasa ada solusi dan optimisme, mereka akan lebih terbuka terhadap sains—dan mungkin, akan ikut menyebarkannya juga.


