Kembali bekerja di Salatiga

Hal lumrah yang dilakukan ketika aba-aba new normal sudah diudarakan adalah bekerja. Itulah sebab musabab saya sudah kembali ke Salatiga.

Ngga deng. Saya sudah kembali ke Salatiga sebelum new normal diberitakan. Saya kembali ke Salatiga tanggal 7 Juni. Setelah sebelumnya mampir dulu ke Semarang, mengambil barang-barang Pengayaan Bahasa.

Sedihnya, kosan saya di Semarang bisa dikatakan tidak ditinggali selama hampir 3 bulan. Masih harus bayar kosan full (dikorting 50 ribu karena tidak menggunakan listrik, jadi bayar 400 ribu).

Alhamdulillahnya, bayar kosannya sudah di tanggung oleh LPDP jadi tidak keluar uang pribadi.

Perjalanan Bojonegoro ke Semarang

Masalah utama dalam melakukan perjalanan saat masa corona adalah susah sekali mencari transportasi umum.

Beberapa kali saya mencoba ngontak driver dan jasa travel, tapi tetap saja belum ada yang melayani perjalanan ke luar kota. Apalagi mengingat Bojonegoro termasuk kota yang ngga begitu besar (tempat tinggal saya juga masih kampung terpencil).

Kalaupun ada jasa travel yang mau mengantarkan ada minimal jumlah penumpangnya, maksimal 3 orang dalam 1 mobil. Jika kurang dari 3 orang, dihitungnya biaya sewa mobil pribadi. Sekitar 700-900 ribu perorang dari Bojonegoro ke Semarang.

Mahal sekali kan. Padahal harga normalnya 200-an ribu.

Mau naik bus, sudah dipastikan jarang pake banget yang beroperasi. Itupun hanya di jam tertentu.

Agar bisa ke Semarang, akhinya nyewa mobil tetangga. Ngga tau harganya berapa. Terima kasih bapak-ibu sudah mengcover biasaya sewa mobil (maafkan putrimu yang segede ini belum bisa mandiri :’)

Semarang ke Salatiga

Menurutku dibanding rasa was-was perjalanan selama pindahan ini. Saya malah lebih khawatir perjalanan dari Semarang ke Salatiganya.

Ya, yang dari Bojonegoro-Semanang juga khawatir dijalan ada pemeriksaan dan tidak diperbolehkan. Tapi di daerah Semarang rasanya beda lagi.

See also  Hewan Beradaptasi, Saya Juga.

Daerah Semarang, khusunya Tembalang ternyata banyak jalan dan gang yang ditutup. Istilahnya, dalam satu kompleks gang, yang dibuka hanya satu jalan saja. Ditambah isu-isu kalau ada pengusiran pendatang baru.

Untungnya, pas saya di Semarang sudah mulai lengang. Sepertinya orang-orang sudah mulai malas dan ngga setegas dulu menindak pendatang baru. Entah ini seneng atau ngga. Sebagai pendatang dan punya kegiatan di kota tersebut saya senang.

Balik ke Salatiga pun begitu. Di sini lebih ketat lagi dibandingkan semarang. Kalau di Semarang pakai portal biasa yang bisa diakalin buat dibuka.

Di sini tiap gang masuk, dipager tinggi banget pakai kawat. Gila, gila XD. Takut banget, sampe ibu kosan cuma ngasih intruksi buat masuk gang tanpa dicurigai masyarakat kampung.

Ngomong-ngomong saya balik lagi ke kosan lama dulu waktu di Salatiga. Ada kamar kosong dan itu pula kamarku, sebelumnya sudah di tinggali penghuni lain sampe akhir bulan Mei.

Itu pun alasan ku diterima lagi di kosan Graha Mulia 3, juga karena ku sudah pernah ngekos di sini. Sehingga warga juga ga bakal curiga. Terima kasih Bu Mulyani.


Sekarang saya udah 2 minggu di Salatiga. Sudah masuk seperti biasa, sudah mulai riweh dengan kerjaan (bohong haha), dan saya belum daftar buat kuliah S2. Doakan ya lancar persiapan S2nya.

One Reply to “Kembali bekerja di Salatiga”

  1. Bagi saya menarik sekali mengikuti tulisan Mba Diah tentang Salatiga ini. Cuman kalau boleh tau, apa hal yang menarik dari kota Salatiga selama tinggal disana? Mungkin bisa berbagi sedikit tentang kota yang menurut banyak tulisan sebagai kota yang memiliki toleransi beragama yang tinggi.

    Kebetulan saya sedang mencari referensi tentang Kota Salatiga karena saya berencana untuk menghabiskan masa tua saya disana, tapi masih bimbang mengenai mata pencaharian yang harus saya lakukan. Kemudian mengenai biaya hidup juga saya masih belum mendapatkan referensi dari orang yang memang tinggal disana.

    Terima kasih sebelumnya….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *