Tanggal 21 April lalu saya dihubungi adek kelas dari lembaga pers di fakultas sains matematika, tempat kuliah dulu.
Pertanyaannya seputar keluahan dan bisa dibilang masalah yang sudah sering diperbincangkan oleh para perempuan. Dan sepertinya pertanyaan tersebut memang sengaja didedikasikan untuk konten spesial hari Kartini.
21 April, hari kelahiran saya juga. Tetapi dengan sangat saya menolak untuk diwawancarai. Dengan berbagai pertimbangan tentunya.
- Waktu yang mepet, konten buat tanggal 21 april dimintanya tanggal itu juga.
- Kondisi badan yang lagi ngga sehat. Badan drop, ga bisa mikir juga.
- Saya merasa kurang kompeten dalam hal ini, ya walaupun faktanya saya juga mengalami hal tersebut. Di akhir percakapan dengan ‘nya’, saya menyarankan lebih baik mencari narasumber yang lebih kompeten dibidang ini. Misal aktivis perempuan dibawah komunitas peduli perempuan Undip. Lebih kredibel dan jawabannya pastinya lebih kaya.
But, walaupun saya ngga jadi menjawab pertanyaan untuk konten mereka. Saya akan menjawab pertanyaan mereka di sini saja. Akhir-akhir ini, saya malah kepikiran dan merasa ada tanggung jawab yang berlu terselesaikan.
Perempuan S2 jarang ada yang mau nikahin? a.k.a Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti susah dapat jodoh.
Kenapa sih pendidikan perempuan selalu dikambing hitamkan dalam membina sebuah hubungan rumah tangga? Mau berpendidikan tinggi salah, mau ga berpendidikan juga salah.
Penggunaan kalimat yang macam begini rasanya juga kurang sesui dan terkesan merendahkan perempuan, biasanya sih pihak lelaki yang bilang begini.
Tetapi, pernyataan seperti ini bukanlah pernyataan yang muncul tanpa sebab. Anggap saja seperti ini:
A. Jumlah laki-laki yang berpendidikan < jumlah perempuan yang berpendidikan
B. Jumlah laki-laki yang berpendidikan > jumlah perempuan yang berpendidikan
C. Jumlah laki-laki yang berpendidikan = jumlah perempuan yang berpendidikan
D. Perempuan menyukai lelaki berpendidikan > laki-laki tak berpendidikan
E. Perempuan menyukai lelaki berpendidikan < laki-laki tak berpendidikan
F. Perempuan menyukai lelaki berpendidikan = laki-laki tak berpendidikan
Dari kondisi di atas mana yang lebih rentan pernyataan ini diajukan? sudah keliatan kan. Pendidikan perempuan akan dipermasalahkan ketika muncul kondisi dimana jumlah laki-laki yang berpendidikan < jumlah perempuan yang berpendidikan dan ataupun jika perempuan ternyata lebih menyukai lelaki berpendidikan dibanding yang tidak.
Justru hal-hal yang begini harus dijadikan dorongan kepada pihak laki-laki untuk terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan nya juga dong. Masak perempuan udah semangat mengenyam pendidikan, laki-lakinya enggak.
Nah loh, jadi koreksinya sekarang buat siapa? Harusnya pernyataannya dibalik Laki-laki jangan mau sekolah yang rendah, nanti susah dapat jodoh.
Namun, ada hal penting yang menjadi faktor penting dalam menemukan dan membina hubungan yaitu:
Ada suatu kesetaraan yang behubungan kecocokan dalam membangun hubungan
Just my theory. Sembari ku mencari rujukan apakah ini hanya mengada-ngada, atau memang ada riset yang membuktikannya.
Dalam membina suatu hubungan tentunya ada tari yang akan menghubungkan kalian berdua. Entah dari segi kecocokan lingkungan, pola pikir, ataupun prinsip dalam hidup.
Menemukan kecocokan inilah yang sepertinya menjadi suatu poin penting dalam pertemuan jodoh seseorang, bukannya tinggi rendahnya pendidikan.
Wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nantinya hanya berakhir di dapur dan mengurus anak?
Ini lagi.
Seminggu ini saya sedang membaca buku, yang sepertinya akan membantu mengupas dan membahas terkait masalah ini.
Menjadi perempuan berpendidikan menurut saya adalah suatu keseharusan, ya walaupun tak jarang memang ada yang memilih untuk mengurus anak di rumah.
Sehingga dari pada melihat pendidikan sebagai faktor yang tidak diperlukan, yang toh akhirnya perempuan balik lagi ke kandang dapur. Mari melihat ke arah sudut pandang yang lain.
Cobalah melihat pendidikan sebagai untuk bisa hidup secara mandiri dalam kondisi apapun. Pendidikan tentunya memberikan peluang untuk bekerja dan hidup mandiri secara finansial , hal ini dapat dijadikan sebagai suatu pilihan.
Seorang perempuan boleh saja untuk memilih tidak bekerja, tetapi minimal dengan bekal pendidikan akademis yang baik, dia memiliki opsi untuk bekerja dan mandiri ketika situasi memerlukan.
Ingatlah bawa kehidupan ini penuh dengan ketidakpastian.
Jika ketika ia menikah memiliki suami yang bertanggung jawab, pandai mencari uang, hidup serba berkecukupan hal ini tidak menjadi masalah. Tetapi, jika suami mengalami kesulitan (meninggal atau tidak bisa bekerja lagi), ataupun di tengah kehidupan berrumah tangga akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Setidaknya pendidikan tinggi masih bisa menyelamatkan kehidupan. Perempuan yang berpendidikan tinggi bisa menjadi back-up tulang punggu bagi keluarganya dan bagi dirinya sendiri.
Dalam hal pendidikan dan pengembangan anak, ibu juga memiliki dampak yang signifikan. Anak-anak tentunya tidak akan hanya belajar dari bangku sekolah tetapi juga dari orang tua mereka.
Dari riset yang dilakukan oleh Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) yang ditayangkan di theconversation.com, menjelaskan bahwa dalam proses pembelajaran secara daring (selama pandemi corona), Ibu mendampingi anak belajar 3 kali lipat lebih banyak dari pada ayah.
Kelihatan kan seberapa penting peran seorang ibu dalam pembelajaran anak.
Memiliki seorang ibu yang berpendidikan tinggi tentunya akan sangat membantu bagi seorang anak untuk belajar. Ibu yang bersekolah tinggi juga akan memotivasi dan menjadi teladan anak untuk mengapai mimpi-mimpinya.
Dengan kata lain, ibu yang cerdas membantu anak-anaknya menjadi cerdas juga.
Benarkah pencapaian wanita adalah membangun keluarga?
Dalam hal ini sebenarnya tergantung orangnya ya (peace V).
Namun menurut saya pribadi, membangun keluarga bukanlah sebuah pencapaian akhir dari perjalanan hidup. Membangun keluarga adalah sebuah permulaan, atas keputusan mu untuk mengarungi kehidupan bersama dengan pasanganmu.
Dalam kondisi sudah berpasangan pun kamu harusnya masih bisa membuat pencapaian sesuai keinginanmu. Setelah pencapaian yang satu terpenuhi, akan muncul pencapaian-pencapaian yang lain lagi kan?
…..dan kurang tepat rasanya bila menganggap semua hal sudah terpenuhi setelah kamu selesai melangsungkan pernikahan. Setidaknya akan banyak hal lain yang akan kamu pikirkan setelah menikah.
Misal dalam pemenuhan kebutuhan anak, pendidikan, perkembangannya, tempat tinggal yang layak dan masih banyak lagi.
Sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan lain, tapi saya cukupkan untuk menjawab tiga pertanyaan dulu. Jika ada waktu pertanyaan sisanya akan saya jawab lain waktu.
Inilah pentingnya habit
https://psikologi.unair.ac.id/en_US/workshop-promoting-healthy-behaviour-with-intervention-mapping/